SKI Jakarta – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendukung rencana klasifikasi perusahaan asuransi berdasarkan minimal permodalan yang dimiliki seperti yang digulirkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketua Umum AAUI Budi Herawan menjelaskan asosiasi telah mencoba mengusulkan kepada OJK agar perusahaan asuransi bisa mencapai minimal ekuitas sebesar Rp250 miliar pada 2026 dan bertahap hingga 2030 mencapai ekuitas minimal Rp500 miliar. Hanya saja, kata dia, OJK bersikukuh ingin tetap mengusulkan ketentuan permodalan hingga Rp1 triliun pada 2028.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Dalam aturan tersebut, regulator mengatur terkait dengan modal disetor bagi perusahaan asuransi dan reasuransi yang baru didirikan.
Adapun modal disetor bagi perusahaan asuransi yang baru berdiri minimum Rp1 triliun, sementara untuk perusahaan reasuransi yakni Rp2 triliun “Perusahaan asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp1 triliun, perusahaan reasuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp2 triliun,” tulis aturan POJK Nomor 23 Tahun 2023, dikutip Senin (29/01/2024).
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memperkirakan sebanyak 12 perusahaan asuransi tidak bisa memenuhi ekuitas minimum Rp250 miliar pada 31 Desember 2026 sebagaimana yang diminta regulator. Hal itu disampaikan Ketua AAUI Budi Herawan dalam Webinar bertajuk POJK Nomor 23 Tahun 2023 dan Dampaknya Bagi Lanskap Industri Asuransi di Indonesia.
“Kalau hitungan daripada perusahaan asuransi hingga tahun 2026, dari analisa kami, mungkin kisarannya hanya 10 (perusahaan asuransi) maksimal 12 perusahaan asuransi mungkin yang tidak akan mencapai di angka ekuitas Rp250 miliar,” kata Budi.
Kendati demikian, Budi menuturkan pihaknya masih menunggu hasil atau dampak dari IFRS 17 yang diyakini mengubah lanskap industri. Meski begitu, Budi menyampaikan bahwa AAUI mendukung penguatan satu ekosistem perasuransian di Indonesia.
“Saya di asosiasi saat ini lagi coba merumuskan satu usulan untuk teman-teman yang kemungkinan besar tidak bisa masuk sesuai dengan harapan dari regulator di tahun 2028, tentunya ini juga saya perlu dukungan dari regulator,” tuturnya.
“Dari analisa statistik dan data yang ada di kami. Hitungan kami kurang lebih antara 12 perusahaan ini yang memang harus kita coba lihat kembali bagaimana mereka bisa survive menuju ekuitas Rp250 miliar,” tambahnya.
Namun, Budi meyakini perusahaan asuransi yang tergabung di bawah AAUI bisa memiliki ekuitas sebagaimana titah regulator.
“Kami dari AAUI tentunya berharap secara organik, bisa lolos. Tapi, tentunya kami tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa adanya regulasi, kita juga tidak bisa berdiri jalan sendiri,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Direktur Utama Asuransi Candi itu melihat ada dua hal yang terjadi dari sisi pemegang saham.
Dia mengatakan bahwa saat ini tingkat return on equity dan return on investment industri perasuransian yang masih kecil.
“Sehingga para pemegang saham existing, mereka itu lebih baik melakukan merger atau mengakuisisi, atau menunggu diakuisisi,” ujarnya.
Harapannya, dengan adanya POJK 23/2023 ini diharapkan tidak terjadi delusi perusahaan asuransi. Dalam hal Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi dan Reasuransi (KUPA), Budi mengatakan bahwa AAUI sedang mengkaji dengan OJK agar industri ini tetap tumbuh sehat dan bertahan ke depannya.
Di samping itu, Budi menuturkan bahwa asosiasi juga masih menunggu perumusan dan implementasi skema KPPE maupun KUPA.
Namun, dia mengaku masih cukup optimis dengan adanya POJK 23/2023 untuk penguatan sektor di industri perasuransian.(red)