Celah “Pengkondisian” dan Ancaman Etika Profesi di Jepara

SKI | Jepara – Dugaan aliran dana dari proyek-proyek pemerintah yang disalurkan untuk “pengkondisian” berbagai pihak, termasuk oknum jurnalis, bukanlah persoalan sepele. Jika terbukti, fenomena ini menunjukkan adanya pola sistemik yang mengancam kemerdekaan pers, integritas profesi, serta tata kelola pemerintahan yang bersih di tingkat daerah.

Praktik “pengkondisian proyek” biasanya terjadi dalam bentuk pemberian dana oleh pelaksana kegiatan kepada pihak eksternal, agar proyek tidak disorot media, tidak dilaporkan ke penegak hukum, atau agar mendapatkan “perlindungan sosial” dari organisasi tertentu. Dana semacam ini sering dibungkus dengan istilah “uang rokok”, “biaya koordinasi”, hingga “uang jatah media”.

Menurut pengamat kebijakan publik dan tata kelola daerah, praktik semacam ini terjadi karena lemahnya pengawasan internal, serta adanya oknum yang memanfaatkan posisi strategisnya dalam organisasi profesi maupun jaringan sosialnya. “Kalau ada jurnalis yang memposisikan diri sebagai ‘pengatur’ proyek, itu sudah menyalahi kode etik jurnalistik secara fundamental. Pers harus berdiri di luar kepentingan kekuasaan dan proyek,” ujar salah satu dosen komunikasi di Semarang.

Dalam konteks Jepara, kekhawatiran muncul ketika organisasi pers, LSM, dan Ormas lokal justru dijadikan kendaraan untuk melanggengkan praktik-praktik tidak sehat. Alih-alih menjadi kontrol sosial, beberapa justru diduga menjadi bagian dari mata rantai kompromi.

Salah satu narasumber dari dinas teknis di lingkungan Pemkab Jepara mengakui, tekanan dari pihak luar sering kali muncul menjelang pelaksanaan kegiatan. “Ada saja yang datang mengaku dari media atau organisasi tertentu. Mereka biasanya meminta dilibatkan atau memberi tekanan agar program jalan dengan ‘lancar’. Ini memprihatinkan,” ungkapnya tanpa menyebut identitas.

Sementara itu, Dewan Pers dalam berbagai pernyataannya secara tegas melarang jurnalis menerima imbalan dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi independensi dan objektivitas dalam menjalankan tugas. Jika terbukti, pelanggaran ini bisa dikenai sanksi etik, bahkan pencabutan hak keanggotaan organisasi wartawan.

Lebih jauh, dalam polemik distribusi LKS, muncul dugaan bahwa sistem pengadaan dilakukan tidak melalui skema resmi sekolah atau komite, namun difasilitasi oleh pihak ketiga yang menjalin kesepakatan langsung dengan vendor. Hal ini bertentangan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana pendidikan di sekolah-sekolah negeri.

Rekomendasi dan Jalan Keluar

Penguatan peran Dewan Pers, dinas terkait, dan organisasi wartawan lokal sangat diperlukan untuk mencegah praktik-praktik seperti ini berulang. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

• Verifikasi ketat organisasi wartawan lokal agar tidak menjadi tameng oknum tertentu.

• Mendorong whistleblower protection bagi pihak internal kontraktor, ASN, maupun sekolah yang ingin melaporkan tekanan dari luar.

• Membuka ruang diskusi publik antara pers, pemerintah, dan masyarakat sipil mengenai etika profesi dan pengawasan proyek.

• Memberikan sanksi tegas kepada oknum yang terbukti menyalahgunakan jabatan, baik secara etik maupun hukum.

Skema kerja sama media dan pemerintah harus dibangun dalam prinsip profesional, transparan, dan tidak menimbulkan konflik kepentingan. Jika tidak, masyarakat akan terus menjadi korban dari permainan yang tidak terlihat.
Catatan Redaksi:

Tulisan ini disusun berdasarkan informasi dari berbagai sumber yang memiliki kredibilitas dan pengalaman langsung. Beberapa nama, tempat, dan nominal disamarkan demi menjaga asas praduga tak bersalah dan menghindari pelanggaran hak privasi.

Penulis : Hani

Editor : Red SKI