Dr. Anang Iskandar : Segera Reformasi Penegakan Hukum Narkotika dan Revolusi Mental

Catatan Tengah Dr Anang Iskandar, SH.MH.

Menurut catatan saya, kejahatan narkotika adalah kejahatan transnational, solusinya bersifat lokal.

Kunci keberhasilan penanggulangannya tergantung seberapa serius merehabilitasi penyalahguna sebagai ODKN (Orang Dengan Kecanduan Narkotika) agar sembuh dan tidak mengulangi perbuatannya, melalui wajib lapor pecandu dan penegakan hukum rehabilitatif.

Reformasi penegakan hukum terhadap perkara kejahatan tanpa korban (Crime Without Victims) seperti narkotika tersebut mendesak dilakukan karena sejak Indonesia ber-UU narkotika.

Kejahatan tanpa korban ini tidak pernah menunjukan tingkat penurunan bahkan trendnya meningkat dari tahun ketahun, sampai hari ini.

Banyak kritik ditujukan kepada penegak hukum dalam penanganan perkara tersebut, antara lain larangan secara pidana terhadap kejahatan tanpa korban seperti narkotika, judi dan prostitusi, justru membuat penegak hukum jadi koruptor.

Kenapa?

Karena berdasarkan pengalaman hanya sedikit penegak hukum yang menolak sogokan dari pelanggaran hukum ini (Drs Kunarto, Kejahatan Tanpa korban, 1999).

Menurut sejarahnya, sejak Indonesia ber UU narkotika, kejahatan narkotika pertumbuhannya terus mengalami kenaikan, meskipun penegakan hukumnya gencar dilakukan dan berhasil dengan baik.

Sebelumnya Indonesia menjadi negara transit saja, namun sejak tahun 90an sampai sekarang, Indonesia sudah menjadi negara kosumen.

Bahkan kebutuhan narkotika illegal Indonesia menduduki rangking pertama Asean dengan 51% kebutuhan Asean.

Kalau tahun 90an, penyidik untuk dapat hasil tangkapan kasus narkotika dengan barang bukti 1 kg sudah merasa sulit, setelah 30 tahun kemudian, sekali tangkap lebih dari 1 kwintal bahkan ada yang lebih dari 1 ton.

Perkembangan kondisi tersebut membahayakan kesehatan individu masarakat sekaligus menggambarkan lemahnya ketahanan individu, lemahnya ketahanan masyarakat dan ketahanan negara.

Ini dalam menghadapi perdagangan gelap narkotika sebagai transnational crime yang menjadi musuh bersama negara negara didunia.

Jangan buru buru menyalahkan negara asal narkotika, karena dari manapun asalnya narkotika, di sana narkotika juga dilarang dan diancam dengan hukuman berat.

Tetapi fahami bahwa kejahatan perdagangan gelap narkotika adalah kejahatan transnational yang penanggulangannya secara lokal, dengan cara menghilangkan sifat kecanduan narkotika bagi pelaku yang menyalahgunakan melalui proses penyembuhan/pemulihan dan mencegah agar tidak relapse.

Itu sebabnya, implementasi pencegahan dan penegakan hukum perkara narkotika perlu dilakukan reformasi oleh pemerintah agar penyalahgunaan dan peredaran narkotika trendnya menurun.

Karena secara historis, jumlah penyalah guna narkotika terasa mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, semenjak Indonesia menggunakan UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika, kemudian dirubah dengan UU no 22 tahun 1997.

Dan terakhir, menggunakan UU no 35 tahun 2009 bahkan sekarang penyalahgunaan dan peredaran gelapnya sudah merambah sampai ke desa desa.

Selama ini, kambing hitam kegagalan memberantas narkotika dialamatkan pada UU narkotikanya.

UU narkotika dituding tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, UU narkotika juga disebut sebut sebagai UU yang ambigu dan lain sebagainya.

Padahal masalahnya, bukan pada UU dan aturan pelaksanaannya tetapi pada masalah implementasi penegakan hukum dan mental penegak hukum dalam menanggulangi masalah narkotika.

Narkotika, Kejahatan Multidimensional

Kejahatan narkotika adalah kejahatan multidimensional, yang menyangkut dimensi idiologi, politik, sosial, ekonomi dan budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut sejarahnya masalah narkotika bisa digunakan alasan untuk menyerang fihak lain, dalam memerangi masalah narkotika.

Inggris pernah menyerang Cina dengan mengobarkan “Perang Candu” yang mengakibatkan Hong Kong dikuasai Inggris selama 100 tahun.

Perang melawan narkotika juga pernah dilakukan oleh negara negara dengan pimpinan Amerika Serikat, 50 tahun yang lalu dengan mengobarkan “war on drugs” dengan cara memenjarakan siapa saja yang terlibat masalah narkotika.

Sebelum dan setelah merdeka, Indonesia “tidak” melarang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, masyarakat ditolerir menggunakan narkotika dan aparat menjadi penyalur narkotika legal dan narkotika diproduksi di Jakarta lokasinya di gedung UI Salemba sekarang.

Tahun 1976 Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika, 1961 beserta protokol yang merubahnya, dimana penyalah guna dilarang dan diberikan hukuman alternatif berupa rehabilitasi.

Pada saat yang sama, pemerintah mengundangkan UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika.

Sejak itu Indonesia memasuki era baru melarang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika secara pidana. Terhadap penyalah guna narkotika diberikan hukuman alternatif berupa rehabilitasi melalui keputusan hakim (pasal 33 uu no 9/1976).

Tahun 1980-an Indonesia dikenal sebagai negara transit, Namun sejak awal tahun 1990an sudah mulai banyak konsumen sehingga Indonesia mulai jadi negara tujuan.

Sasarannya terbatas golongan elit atau kelas atas, tetapi pada tahun 1990an penyalahgunaan sudah menjamah tingkat menengah kebawah.

Sejak itu penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika mulai membahayakan terhadap ketahanan diri individu, masarakat, bangsa dan negara.

Sekarang ini penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sudah pada tingkat pedesaan, kondisi sangat membahayakan ketahanan negara.

Sebenarnya, pernyataan perang melawan narkotika tidak ada gunanya, jumlah penyalah guna sudah mendekati 6 juta.

Betapapun hebatnya aparat Polri ketika itu dan sekarang ditambah BNN akan kewalahan kalau cara memeranginya menggunakan metode pemenjaraan karena makin diserang makin berusaha mencari cara yang lebih bagus dan lebih cermat lagi.

Pengalaman di AS perlu dicermati, Ronald Reagen ketika kampaye untuk presiden, mengatakan apabila terpilih jadi presiden akan memerangi perdagangan narkotika.

Betul setelah terpilih beliau melancarkan perang terhadap narkotika dengan tindakan sangat represif, memenjarakan penyalah guna dan pengedar. Hasilnya sangat sukses karena perdagangan narkotika terhenti .

Tetapi Apa Yang Terjadi?

Karena jumlah penyalah guna narkotika sebagai ODKN sudah banyak, hilangnya narkotika dari peredaran menyebabkan melonjaknya harga narkotika menjadi sangat tinggi.

Waktu perang mereda, narkotika beredar kembali dengan harga yang sudah terlanjur tinggi. Penyalah guna lalu mencari alternatif narkotika yang lebih murah, munculah “crack” dengan bahan lain dengan harga lebih murah.

Dengan memerangi penyalah guna dan pengedar (demand and supply) dengan memenjarakan pelakunya, perdagangan gelap narkotika tidak ada matinya (Drs kunarto, kejahatan tanpa korban, 1999).

Bahaya peredaran gelap narkotika bukan semata mata secara yuridis karena penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dilarang secara pidana, tetapi bisnis perdagangan gelap narkotika adalah bisnis yang menggiurkan.

Bahkan, uang hasil bisnis gelap narkotika bisa beredar kemana mana, bisa untuk kepentingan politik, ekonomi , sosial yang dapat membahayakan ketahanan nasional.

Dan penyalahguna yang dipenjara, akan menjadi pembeli narkotika ke pedagang gelap narkotika sepanjang kehidupannya, ini membahayakan masa depan individu, masarakat, bangsa dan negara.

Metode Penanggulangan Kejahatannya

Melihat banyaknya jumlah penyalah guna dan pengedar yang dijatuhi hukuman penjara, dan rendahnya jumlah pengedar narkotika yang hartanya dirampas untuk kepentingan P4GN, serta permasalahan narkotika yang sudah mencapai tingkat desa.

Maka, pemerintah perlu reformasi penegakan hukum dan merevolusi mental aparat penegak hukum.

Hal-hal yang perlu dilakukan reformasi dalam praktek penegakan hukum adalah:

Pertama, arah pencegahan, sasarannya adalah masarakat sehat agar mengetahui bahaya penyalahgunaan narkotika supaya tidak menjadi penyalah guna dan pengedar.

Kedua, mendorong penyalah guna untuk melakukan wajib lapor pecandu secara sukarela agar mendapatkan perawatan tahap awal.

Bila tidak bersedia akan dilakukan penegakan hukum bersifat rehabilitatif dengan hukuman berupa rehabilitasi sebagai bentuk prevention without punishment.

Ketiga, metode penegakan hukum yang berjalan sekarang khususnya praktik memenjarakan penyalah guna dan penerapan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) hasil kejahatan perlu segera dilakukan.

Evaluasi dan direformasi agar tindakan aparat penegak hukum lebih effektif dan effisien dalam melaksanakan penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Asal, sesuai tujuan dibuatnya UU yaitu memberantas peredaran narkotika dan menjamin penyalah guna untuk direhabilitasi.

Keempat, sasaran penegakan hukum perkara narkotika tidak saja kepada kepemilikan narkotika tetapi sifat kecanduan harus dihilangkan dengan pendekatan medis.

Itu sebabnya penegak hukum mulai penyidik, penuntut dan hakim wajib melakukan tindakan bersifat rehabilitatif.

Dengan Cara?

Wajib memilah mana pelaku yang “niatnya jahat” dan mana pelaku yang “tidak punya niat jahat” , yang tidak punya niat jahat termasuk penyalah guna dan yang mempunyai niat jahat termasuk pengedar.

Penyalah guna diancam dengan pidana maksimum sedang pengedar diancam pidana minimum dan maksimum. Terhadap penyalah guna yang berperan sebagai pengedar atau sebaliknya dikenakan ancaman secara komulatif.

Kelima, penerapan pasal bagi penyalah guna dalam berkas perkara dan dakwaannya. Perlu difahami bahwa bentuk ancaman pidana bagi pengedar berupa ancaman hukuman minimum dan maksimun, sedangkan bentuk ancaman pidana bagi penyalah guna berupa ancaman pidana maksimun.

Penyalah guna narkotika tidak diancam dengan pidana minimum dan tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan.

Saya menyarankan kepada pemerintah, khususnya para pembina penegak hukum narkotika untuk mereformasi proses penegakan hukum dan merevolusi mental aparatnya, ungkapnya.

Kenapa?

Agar penegakan hukum terhadap perkara narkotika disesuaikan dengan tujuan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, tidak menerapkan dakwaan subsidiaritas, tidak menahan dan memenjarakan penyalah guna sebagai ODKN.

Serta tidak membiarkan uang kotor hasil kejahatan narkotika disembunyikan atau disamarkan sebagai uang bersih.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

Penulis adalah: Komisaris Jenderal (P) Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. adalah seorang polisi lulusan Akpol, berpengalaman di bidang reserse. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang pernah menjadi Komandan Bareskrim Mabes Polri.

Jenderal bintang tiga ini menjadi sosok aktivis anti narkoba, seorang dosen yang juga penulis buku yang produktif. Komitmennya untuk mengedukasi dan meliterasi aparat, semua lini di bangsa ini, agar memahami permasalahan narkoba dengan jernih. (red).