oleh

DR. Ilyas.SH.MH Ahli Pidana Narkotika : “Penerapan Pasal 132 Mutlak Harus Terpenuhi Semua Unsur, Tidak Boleh Hanya Asumsi”

SKI | Cirebon – Apakah mungkin tindak pidana korupsi pelaku tunggal? Apakah mungkin Persekongkolan ataupun permufakatan Jahat juga pelaku tunggal?.

Menyikapi langkah Ketua Majelis Hakim pada PN Tanjung Karang, J.Butar-Butar,SH.MH, yg memvonis bebas atas dugaan keterlibatan Sulton sebagai pengendali Narkotika jenis sabu sebanyak 92 kg tanggal 21 Juni lalu, memunculkan berbagai tanggapan dari berbagai pihak, tak terkecuali DR.Ilyas.SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Unsika Kerawang.

“Vonis itu dijamin Tidak ada suap, tudingan miring dan sangkaan suap adalah tuduhan keji dan tidak berdasar” ujar sang Dosen kepada wartawan kami, Sabtu (25/6)

Sebab Hakim akan memproses dan memvonis diluar pertimbangan non hukum, argumen yg terbangun pasca vonis bebas mudah di pahami dan rasional.

Sebagai perbandingan, mungkinkah tindak pidana korupsi hanya dilakuan oleh pelaku tunggal?
Jika ini ada, sangat aneh dan rasanya di luar nalar hukum, sebab setidaknya pada tindak pidana korupsi, pasti ada kompromi, siapa, berbuat apa, melakukan apa dan mendapat apa? Jadi akan ada link yg hilang, yaitu dengan siapa pelaku tunggal kompromi? dengan mahluk ghaib atau dengan benda mati? ini harus menjadi triger, pemicu, agar proses-proses hukum dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi berjalan tanpa tebang pilih, tanpa melukai rasa keadilan dan tanpa penyimpangan.

Jadi sangkaan korupsi hanya pelaku tunggal sangat tidak mungkin, pelaku tunggal mungkin Maling pasal 362 atau pidana lainnya yg memungkinkan pelaku tunggal, tetapi tidak dengan tindak pidana korupsi, patut dipertanyakan ada apa dan kenapa bisa menetapkan tersangka pelaku tunggal?
tabir ini akan segera terbuka digelar di pengadilan, dan hakim pasti mengejar kebenaran formal dan materiil.

Kembali pada putusan Bebas di PN Tanjung Karang pada perkara Nomor: 13/Pid.sus/2022/PN.Tjk, terdakwa Sulton yang di dakwa dengan Pasal 114 ayat(2) Jo pasal 132 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia nomor: 35 tahun 2009, pada prinsip pokoknya bahwa persengkokolan atau permufakatan jahat, mensyaratkan harus terbangun komunikasi antara sesama pelaku, entah bahasa verbal atau isyarat, Intinya terbangun komunikasi, tanpa unsur tersebut maka pasal 132 TIDAK bisa diterapkan.

Pada jaringan peredaran gelap narkotika, unsur unsur pasal 132 mutlak harus terpenuhi, sama dengan korupsi unsur unsur kerjasama mutlak harus terpenuhi, tanpa itu jika dipaksakan menjadi perkara main-main.

Percobaan permufakatan jahat pada pasal 132, berarti ada yg memiliki ide, dan ide itu di bahas, dan pembahasannya bisa pembagian tugas, dan pembagian hasil, singkatnya jaringan gelap yang berorientasi profit atau keuntungan.

Ada beberapa fase perencanaan dan pelaksanaan dan untuk memuluskan perencanaan itu pasti ada pembahasan, yang berarti ada komunikasi.

Komunikasi jaringan peredaran gelap narkotika pasti Tidak menggunakan alat sembarangan, karena mereka tidak ingin terdeteksi.

Namun pertanyaannya, jika sarana kerjasama tidak ada, komunikasi Tidak ada.

Bagaimana bisa menerapkan pasal 132? Kapan Permufakatan jahat di lakukan? dengan cara apa kesepakatan itu?

Jadi jika memang Tidak ada komunikasi, dan meyakinkan terjadi permufakatan hanya dengan asumsi, ini sangat berbahaya.

Jadi unsur unsur pada pasal 132 menjadi Mutlak, harus terpenuhi seluruhnya, dan terbuka dengan jelas, jika vonis yg diinginkan hakim mempertimbangkan pasal 132 .

Sering di temukan sesama pecandu patungan beli sabu atau ganja untuk dikonsumsi bersama dan beratnya tidak signifikan apakah ini bisa dikenakan pasal 132?, Pendapat pribadi saya sesama pecandu patungan beli narkoba untuk di konsumsi bersama, tidak bisa dikenakan pasal 132, sebab Konteks pasal 132 hanya bisa digunakan pada jaringan peredaran gelap Narkotika, dan orientasinya profit, dengan narkotika dalam jumlah besar, pembagian tugas nya jelas, terhadap model perkara seperti itu pasal 132 berlaku, diterapkan pasal 114 ayat (2) Jo 132 ayat (1) dan di vonis seumur hidup atau mati.

Tetapi jika Tidak bisa dibuktikan unsur-unsur pasal 114 ayat (2) dan pasal (132), dan Hakim memvonis bebas, itu lebih bermartabat, sebab Tidak boleh menjatuhkan Hukuman kepada orang yang TIDAK BERSALAH.(ynzr)

News Feed