Fenomena Radikalisme Di Indonesia Semakin Mengkhawatirkan

SKI, Jakarta – Diskusi publik Kementerian Agama RI bekerja sama dengan Lembaga Catra Bhinneka ini mengambil tema tentang, ‘Fenomena Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia’. Hal ini disinyalir ada kaitannya dengan pengaruh budaya, politik dan pemahaman ajaran (agama) di lingkungan masyarakat pada umumnya, serta lingkungan badan usaha milik Negara, lembaga Negara/pemerintahan dan kementerian pada khususnya.

Nara Sumber yang hadir dalam Diskusi ini adalah: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Antropolog Budaya dan Kepala Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial & Humaniora dari King Fahd University of Petroleums & Minerals, yang juga dikenal sebagai penggiat dan penulis di sosial media, serta prof. Jamhari Ma’ruf, Antropolog dan peneliti dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, dipandu oleh prof .Komaruddin Hidayat selaku Moderator. Diskusi ini di adakan di Auditorium KH.M.Rasyidi Kementrian Agama Republik Indonesia Jakarta Pusat, Rabu (19/12/18).

Hasil survey nasional oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah belum lama ini menunjukkan banyak guru memiliki pandangan intoleran terhadap pemeluk agama lain.

Hasil survey Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada bulan September-Oktober 2017 menunjukkan ada beberapa mesjid di kantor terindikasi masuk faham radikal yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Hasil survey BNPT juga menyimpulkan bahwa tingkat intoleransi dan radikalisme di berbagai daerah sudah sangat memprihatinkan, karena juga ditemukan di lingkungan berbagai perguruan tinggi nasional.

“Radikalisme sebenarnya ada disemua agama, cuma karena di Indonesia mayoritas ummat Islam jadi yang nampak ummat Islam , kalau di Amerika yang terbesar dianut masyarakatnya agama Kristen , ya ada juga radikalisme disana. Sebenarnya Radikalisme sesuatu yang biasa saja dalam masyarakat yang mayoritas dan sudah ada sejak jaman dulu, cuma sekarang dengan adanya media sosial membuat hal ini semakin ramai. Apalagi dengan masuknya faham salafi ke Indonesia,” papar Prof.Sumanto Al Qurtubi.

“Kekerasan terjadi karena adanya pemaksaan terhadap orang lain agar mengikuti suatu aturan yang dianggapnya paling benar oleh suatu kelompok tertentu. Serta overdosis fanatisme yang mengganggap kelompoknyalah yang paling benar sehingga orang lain juga wajib mengikutinya,” imbuh Prof.Sumanto.

Prof.Jamhari Ma’ruf juga mengatakan bahwa Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa majemuk yang beraneka suku, bahasa, budaya dan agama, karenanya kita harus toleran terhadap semua perbedaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

“Intoleran terjadi akibat lemahnya lembaga- lembaga organisasi mainstream sehingga diambil alih oleh ormas lain yang menyebarkan faham yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat kita yang beragam. Pengaruh sosial media di kalangan generasi milenial juga turut mempengaruhi budaya serta pemahaman agama, karena mereka enggan mempelajari agama di buku atau kitab-kitab suci cuma belajar secara instan di Google. Oleh sebab itu perlu di sosialisasikan lagi dengan lebih jelas, terarah dan sistematis pada generasi muda sebagai penerus bangsa bahwa berbagai pemahaman dari luar itu belum tentu cocok diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya majemuk,” tegas Prof.Jamhari. 

Penulis : Fri

Editor    : Red SKI

Komentar