oleh

Kemenperin Kembalikan Manufaktur Jadi Sektor ‘Mainstream’ Pembangunan

SKI – Jakarta – Pemerintah sedang fokus untuk memacu pengembangan industri manufaktur agar menjadi sektor yang berdaya saing global dan andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Supaya mencapai sasaran tersebut, diperlukan langkah kolaborasi dan sinergi antara pemangku kepentingan mulai dari pihak pemerintah, pelaku usaha, akademisi hingga masyarakat.

“Kita baru kembali menjadikan industri manufaktur sebagai sektor mainstream dalam pembangunan nasional. Sehingga Kementerian Perindustrian tidak sendirian dalam upaya menjalankan pengembangan industri,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada acara High Level Policy Round Table on Manufacturing Sector Review di Jakarta, Kamis (5/12).

Menperin menjelaskan, pemerintah telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0 sebagai strategi dan arah yang jelas untuk merevitalisasi industri manufaktur nasional agar semakin kompetitif di kancah internasional pada era digital. “Dengan implementasi industri 4.0, diyakini produksinya akan lebih efisien dan berkualitas,” tuturnya.

Lebih lanjut, Airlangga menyebutkan, langkah strategis yang perlu dilakukan guna mendongkrak daya saing industri manufaktur nasional, antara lain menjaga ketersediaan bahan baku baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Hal ini agar tidak mengganggu jalannya proses produksi.

Kemudian, dibutuhkan biaya energi yang lebih kompetitif, seperti listrik dan gas industri. “Pemerintah juga menciptakan iklim investasi kondusif melalui pemberian fasilitas insentif fiskal berupa tax holiday dan tax allowance,” imbuhnya.

Faktor penting lainnya adalah membangun sumber daya manusia (SDM) industri yang produktif. Dalam hal ini, Kemenperin sudah menjalankan program pendidikan dan pelatihan vokasi yang link and match antara SMK dengan industri serta di tingkat Politeknik. Ini menjadi salah satu proyek percontohan bagi peningkatan kompetensi SDM di Indonesia.

“Bapak Presiden telah mencanangkan, bahwa periode berikutnya fokus pada pengembangan SDM yang lebih masif. Kami juga melakukan kerja sama dengan Swiss dan Jerman untuk memperbaiki kurikulum. Selain itu, melaksakan pelatihan di top level yang diikuti 700 peserta untuk menjadi agen perubahan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0,” paparnya.

Di samping itu, infrastruktur antar kawasan industri perlu diintergrasikan sehingga dapat mengurangi biaya transportasi logistik. “Bahkan, kami pun terus mendorong pendalaman struktur industri melalui peningkatan investasi, terutama untuk sektor yang berorientasi ekspor atau substitusi impor,” jelasnya. Upaya-upaya tersebut sudah masuk di dalam 10 program prioritas Making Indonesia 4.0.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyampaikan, pemerintah tengah berupaya merevitalisasi industri manufaktur di dalam negeri agar pertumbuhannya semakin tinggi. Sebab, industri manufaktur berperan penting dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.

“Selama ini, industri manufaktur memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB. Kami telah menghitung potensial pertumbuhan ekonomi, dengan melihat kondisi terkini, skenarionya 5,4-5,7 persen rata-rata per tahun dan optimisnya bisa sampai 6 persen pada periode 2020-2024,” ungkapnya.

Menperin mengemukakan, berdasarkan laporan World Bank tahun 2017, Indonesia mampu menempati peringkat tertinggi di Asean untuk kontribusi sektor manufaktur terhadap ekonomi dunia dengan porsi 20,5 persen.”Dari capaian tersebut, Indonesia menempati peringkat kelima dunia untuk negara-negara yang tergabung di G20,” ungkapnya.

Sedangkan, merujuk data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dari 15 negara yang kontribusi industri manufakturnya terhadap produk domestik bruto (PDB) di atas 10 persen. “Kita sering mendengar deindustrialisasi itu karena kontribusi manufaktur ke PDB harus di atas 30 persen. Kalau kita melihat data UNIDO dan World Bank, kontribusi sektor manufaktur di dunia tidak ada yang di atas 30 persen,” ungkapnya.

Data UNIDO menunjukkan, di negara industri, rata-rata sektor manufakturnya menyetor ke PDB hanya mencapai 17 persen. Sementara Indonesia mampu menyumbang hingga 22 persen, di bawah Korea Selatan (29%), China (27%), dan Jerman (23%). Namun, Indonesia melampaui perolehan Meksiko (19%) dan Jepang (19%). Sedangkan, negara-negara dengan kontribusi sektor industrinya di bawah rata-rata 17 persen, antara lain India, Italia, Spanyol, Amerika Srikat, Rusia, Brasil, Perancis, Kanada dan Inggris.

Di samping itu, melihat hasil survei Nikkei dan IHS Markit, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia selama periode Januari-November 2018 masih di atas level 50, yang menunjukkan manufaktur tetap ekspansif. Pada November 2018, PMI Manufaktur Indonesia menduduki peringkat ke-4 di tingkat Asean, melampaui capaian Thailand (49,8), Malaysia (48,2), dan Singapura (47,4).

Menperin pun menambahkan, aspirasi besar Making Indonesia 4.0 adalah menjadikan Indonesia masuk dalam 10 jajaran negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030. Sasaran lainnya, meningkatkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil hingga 1-2 persen serta menciptakan lapangan kerja baru bagi 10 juta orang sampai tahun 2030.

Adapun lima sektor manufaktur yang bakal menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Indonesia, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronika. “Lima sektor itu yang tengah kita pacu. Sebab, mampu memberikan kontribusi sebesar 60 persen untuk PDB, menyumbang 65 persen terhadap total ekspor, dan 60 persen tenaga kerja industri ada di lima sektor tersebut,” papar Airlangga.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan III tahun 2018, industri pengolahan nonmigas tumbuh sebesar 5,01 persen atau naik dibanding perolehan di triwulan II-2018 yang mencapai 4,27 persen. Bahkan, industri pengolahan masih konsisten memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PDB dengan porsi mencapai 19,66 persen pada triwulan ketiga tahun ini.

Sementara itu, kinerja sektor-sektor yang mampu melampaui pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2018, di antaranya industri karet, barang dari karet dan plastik tumbuh sebesar 12,34 persen, industri tekstil dan pakaian jadi 10,17 persen, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki 8,83 persen, industri logam dasar 8,11 persen, serta industri makanan dan minuman 8,10 persen.

Komentar