SKI | Jakarta – Ketua Mahkamah Agung harus kerja keras untuk membenahi kemampuan para hakim yang memeriksa perkara perkara penyalahgunaan narkotika seperti yang dialami oleh Nia cs dan para penyalah guna lainnya, ungkap Dr. Anang Iskandar.
Memahami UU narkotika harus secara utuh, apa tujuannya, apa misi penegak hukumnya, tidak bisa hanya memahami secara parsial atau pasal perpasal saja, kalau UU narkotika tidak secara utuh difahami bisa jadi hakim misuse dalam menjatuhkan hukuman bagi penyalah guna seperti yang dialami oleh Nia cs.
Hakim dalam melakukan tugasnya tidak berpedoman pada tujuan UU narkotika dan menyengsarakan masarakat, mestinya menghukum rehabilitasi tapi fakta menghukum penjara seperti yang dialami oleh Nia cs, hakim yang demikian patut mendapatkan pembinaan agar memahami UU narkotika secara utuh.
Secara yuridis, dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim wajib (pasal 127/2) memutuskan atau menetapkan terdakwa seperti Nia untuk menjalani rehabilitasi sebagai bentuk hukuman (pasal 103), dengan memperhatikan lebih dulu kondisi taraf ketergantungan terdakwanya (pasal 54) dan unsur yang dapat menggugurkan tindak pidana yang dilakukan oleh Nia cs (pasal 55).
Kalau Nia cs melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL maka status pidana Nia cs menjadi tidak dituntut pidana, sedangkan kalau Nia cs ketika pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk dirayu ditipu diperdaya bahkan dipaksa menggunakan narkotika maka disebut korban penyalahgunaan narkotika, kalau Nia cs sudah berulang kali menggunakan narkotika disebut pecandu.
Penyalah guna narkotika baik sebagai korban penyalahgunan narkotika maupun pecandu secara yuridis wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54).
Meskipun hakim punya kebebasan dan keyakinan untuk menjatuhkan hukuman tetapi dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim tidak boleh bersembunyi atas nama kebebasan dan keyakinan hakim karena tujuan dibuatnya UU menyatakan dengan jelas bahwa dalam memberantas peredaran gelap narkotika, dan UU menjamin penyalah gunanya mendapatkan upaya rehabilitasi.
Sehingga penegak hukum dalam memeriksa perkara narkotika untuk dikonsumsi tugasnya adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Khusus hakim, diberi kewajiban (pasal 127/2) dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika seperti yang dialami Nia cs, untuk memperhatikan penggunaan kewenangan berdarakan pasal 103/1 yaitu kewenangan untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi sesuai tujuan dibuatnya UU narkotika.
Kalau majelis hakim pengadilan negeri jakarta pusat yang nyata nyata tidak memperhatikan tujuan dan misi penegakan hukum serta kewajiban dan kewenangan yang diberikan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, kemudian menghukum penjara bagi penyalah guna seperti Nia cs; lantas Apa Mahkamah Agung diam saja atau Mahkamah Agung justru merestui penyalah guna narkotika dihukum penjara, tegasnya.
Perkara penyalagunaan narkotika dihukum penjara, bukan perkara banding tetapi perkara misuse dalam menggunakan bentuk hukuman.
Jaksa menuntut direhabilitasi, hakim memenjarakan, tegasnya.
Mengutip detiknews, selasa 11 januari 2020 – Nia Rahmadani dan Ardi divonis hukuman 1 tahun penjara atas kasus penyalahgunaan narkotika, Majelis hakim menganggap Nia dan Ardi bukan korban penyalahgunaan narkotika dan terbukti melanggar pasa 127 (1) hurup a UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.
Menurut saya, Nia dan Ardi memang bukan korban penyalahgunaan, tetapi Nia dan Ardi sudah mencapai tahap penyalah guna dalam keadaan ketergantungan narkotika yang disebut pecandu.
Penyalah guna itu sadar dan punya niat untuk mengkonsumsi narkotika tetapi niatnya karena dorongan dari sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya. Ingat penyalah guna seperti Nia cs tidak punya niat jahat, niat penyalah guna untuk menggunakan narkotika hanya karena dorongan akibat sakit ketergantungan yang dideritanya.
Perlu diluruskan bahwa untuk menjadi penyalah guna narkotika bukan atas karena ingin mencoba pakai, tetapi prosesnya untuk pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya dan dipaksa untuk menggunakan narkotika, yang demikian ini disebut korban penyalahgunaan narkotika.
Setelah menjadi korban penyalahgunaan narkotika, kemudian melanjutkan kariernya sebagai penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan narkotika yang disebut pecandu.
Nah, Nia cs proses menjadi penyalah guna seperti tersebut diatas. Berdasarkan pasal 54 UU narkotika bahwa korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu (penyalah guna dalam keadaan ketergantungan seperti Nia cs) wajib menjalani rehabilitasi, ucapnya.
Itu sebabnya misi jaksa penuntut dan hakim dalam proses pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, oleh karena itu jangan curiga kalau penyalah guna seperti Nia cs dituntut dengan hukuman rehabilitasi selama 1 tahun di Rumah Sakit Ketergantungan Obat.
Menurut catatan saya sejak Jaksa Agung mengeluarkan pedoman dalam menuntut perkara penyalah guna narkotika dengan tuntutan rehabilitasi, sudah ada hakim yang memutuskan hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika antara lain.
Di Pengadilan Negeri Medan, Jaksa penuntut Umum mendakwa kuli bangunan Denny Hendra Darin warga jalan Rahmadsyah Ruko Town House Kelurahan Kota Matsun 1 Kecamatan Medan Area dengan dengan dakwaan berdasarkan pasal 127 ayat 1 hurup a, karena ketika ditangkap kedapatan barang bukti seberat 0,16 gram sabu dan setelah diperiksa terdakwa mengaku menghisap sabu agar tenang serta sudah 3 tahun menggunakan narkotika..
Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa Denny Hendra Darin terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar pasal 127 ayat 1 huruf a UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Keputusan majelis hakim, memvonis Denny Hendra Darin, kuli bangunan tersebut untuk menjalani rehabilitasi selama 6 bulan di Loka Rehabilitasi BNN Diliserdang, dikurangi masa rehabilitasi yang telah dijalani.
Di Pengadilan Negeri Lampung tengah, lebih dari tujuh perkara penyalahgunaan narkotika yang dituntut dan didakwa didakwa berdasarkan pasal 127 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna dilaksanakan dilaksanakan di Loka Rehabilitasi BNN Kalianda.
Penyalah guna selama proses peradilan, tidak dilakukan penahanan, karena misi penegak hukum adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, melalui kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum dan menjatuhkan hukuman rehabilitasi.
Di Pengadilan Negeri Surabaya, Jaksa penuntut umum menuntut terdawa dengan tuntutan rehabilitasi namun putusan hakimnya rehabilitasi selama 3 bulan di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, dan hukuman penjara selama 4 bulan.
Kalau jaksa menuntut penyalah guna untuk direhabilitasi seperti apa yang dialami oleh Nia Rahmadani cs kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk memenjarakan.
Lantas apa hakim benar benar tidak faham akan tujuan dibuatnya UU dan misi penegakan hukum serta kewajiban dan kewenangan hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, tegasnya.
Apakah hakim – hakim juga tidak faham kalau penyalah guna narkotika dalam proses pengadilan, berdasarkan pasal 103 UU RI No. 35 tahun 2009 ttg narkotika, bahwa terbukti salah atau tidak bersalah, hukumannya berupa menjalani rehabilitasi bukan hukuman penjara, ungkapnya. (ynzr)