SKI, Bekasi – H. Ahmad Buchory Muslim dikenal dengan UBM yang juga Caleg DPR RI Dapil Jabar VI (Kota Bekasi dan Depok) nomor urut 4 dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini berbincang dengan reporter di rumahnya di kawasan Kota Bekasi Selatan, Selasa Sore, (02/04/19).
Di tahun 2019 ini pilpres dan pileg bareng dan baru kali ini, kebijakan dibuat untuk menghemat anggaran dan hemat waktu. Betul, itu sisi positifnya.
Akan tetapi, ada dampak negatifnya. Pertama, pileg tak kebagian ruang publik. Semua orang, dan juga media, bicara pilpres. Seolah tak ada pileg. Kedua, polarisasi pilpres mempengaruhi pilihan rakyat. Caleg tak banyak dilihat performa-nya. Integritas, kapasitas dan komitmen personalnya cenderung diabaikan. Semua terkontaminasi oleh polarisasi capres.
Pemilih yang condong ke capres nomor urut 02 cenderung tak mau memilih caleg dari partai pendukung 01. Begitu juga sebaliknya. Fenomena ini terjadi dimana-mana.
Partai mana yang nantinya akan dapat kursi terbanyak di DPR, akan sangat tergantung pada “coat-tail effect” atau efek ekor jas dari pilpres. Dalam hal ini, caleg yang partainya punya capres dan cawapres sangat diuntungkan.
Di pilpres kali ini, partai Gerindra dan PDIP paling diuntungkan. Sebab, capresnya dari kedua parpol ini. Juga PKB, karena efek dari Ma’ruf Amin, mantan kader dan anggota DPR RI dari PKB.
Nasib partai lain akan pertama, akan sangat bergantung kepada kegigihan caleg-calegnya menyapa pemilih. Makin sering ketemu pemilih, potensi dapat kursi makin besar. Tentu ada logistik yang tak kalah pentingnya. Tanpa logistik, sehebat dan sepopuler apapun caleg, gak bakal jadi. Ini konsekuensi dari demokrasi padat modal.
Kedua, bergantung juga kepada capres-cawapres mana yang didukung oleh para pemilih di wilayah itu. Jika capres-cawapres yang didukung partainya kuat di wilayah itu, potensi untuk dapat kursi akan cukup besar. Tapi, jika jumlah pendukung capres-cawapres yang diusung partainya itu kecil, caleg harus sadar bahwa dirinya telah masuk di dapil ‘neraka’.
Sejumlah caleg sengaja memasang baliho dengan foto capres-cawapres yang tidak didukung partainya. Di sejumlah daerah, ada sebagian caleg PPP, PBB dan Golkar memasang baliho dengan background foto Prabowo-Sandi.
Sementara di tahun 2019 ini ada 7.968 caleg DPR RI. 4.774 laki-laki, dan 1.394 perempuan. Caleg perempuan sekitar 40 persen. Melampaui batas dari quota. Jika ditotal dengan caleg DPRD I dan II, maka jumlahnya ada sekitar 245.106 orang. Tentu, tak akan jadi semua. Caleg yang tak jadi sudah disiapkan kamar di Rumah Sakit Jiwa. Antisipasi jika ada yang benar-benar gila.
Sebanyak itu jumlah caleg yang akan rakyat pilih, tentu akan sangat membingungkan. Dan faktanya, pemilih pada umumnya abai dan tak peduli pada caleg. Bagus tidak bagus, pemilih umumnya “ngasal” dalam mencoblos caleg. Belum lagi DPD yang jumlahnya ada 807 orang.
Di tangan pemilih nanti ada 5 surat suara. Capres-cawapres, DPD, DPR RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II. Kecuali DKI Jakarta, DPRD tingkat II tidak ada.
Anda yang berpendidikan dan berasal dari kelas menengah atas, sudahkah kenal caleg dan calon DPD yang rencana akan anda pilih? Kalau anda saja gak kenal, bagaimana dengan kakek-nenek yang usianya sudah di atas 60 tahun. Atau anak muda generasi milenial yang tak peduli terhadap pemilu. Ini tentu jadi persoalan tersendiri.
Padahal, anggota DPR tak kalah penting eksistensinya dari presiden dan wakil presiden. Tugas presiden dan wakil presiden akan sangat dipengaruhi oleh peran parlemen. Sebab, parlemen punya fungsi membuat undang-undang yang menjadi dasar dan roadmap presiden dan wapres menjalankan tugasnya. Belum lagi peran kontrol dan budgeting. Bagaimana anda mengabaikan pileg?
Jika di tahun 2014 dan sebelumnya, dimana pileg tidak dibarengkan pilpres saja masih gagal menghasilkan para anggota parlemen yang ideal, apalagi sekarang? Ditangkapnya sejumlah anggota parlemen oleh KPK, termasuk ketua DPR RI, adalah salah satu buktinya.
Pesona caleg yang redup dan terabaikan oleh gegap gempitanya pilpres mesti jadi renungan bersama jika ingin melahirkan para anggota parlemen yang baik. Baik artinya dipilih rakyat berbasis kesadarannya. Dan kesadaran itu ada jika pemilih kenal dan tahu siapa caleg yang akan dipilih dan diberikan amanah oleh mereka. Jangan sampai gara-gara pilpres, caleg yang terpilih bukan orang-orang yang sesuai dengan harapan rakyat, karena faktor “ngasal” dalam mencoblos.
Penulis : Fri
Komentar