oleh

Beredar Peringatan Darurat di Alam Maya & Aksi Hebat di Dunia Nyata, Ini Pendapat Roy Suryo

SKI Jakarta – Jagad maya heboh, trendingnya bukan hanya dalam skala nasional alias dalam negeri Indonesia, namun sampai ke mancanegara. Ini laksana siaran ulang pembacaan Teks Proklamasi hari Jumat tanggal 17/08/1945 yg dibacakan kembali oleh Sakti Alamsjah, Sam Amir & Darja di Radio Hoso Kyoku & kemudian dipancarluaskan ke seluruh dunia melalui pemancar legendaris Radio Malabar di Gunung Puntang (yg sayangnya kini sudah jadi reruntuhan, hanya tersisa “kolam cinta” yg dulu sebenarnya adalah penanda arah ke negara Belanda).

Peristiwa “go Internasional” sebagaimana patriotisme para pejuang Indonesia 79 tahun silam inilah yg kemarin terulang kembali dgn tagar #PeringatanDarurat & #KawalKeputusanMK yg menjadi trending-topic secara global melalui platform media X (Twitter) dan juga berbagai sarana sosial-media lainnya. Didukung juga oleh oleh akun2 yg berfolower lumayan spt Panji Pragiwaksono, Najwa Shihab, Wanda Hamidah dsb, gaung Garuda Pancasila putih berlatar belakang biru tsb menjadi perbincangan yg menarik perhatian.

Alhasil tidak hanya netizen dalam negeri termasuk para alumnus BuzzerRp yg sudah insaf / tobat sebagaimana sebagian tokoh diatas, media asing juga menuliskan fenomena “Peringatan Darurat” kemarin dan langsung mengkaitkannya dgn kemunduran demokrasi yg sudah benar2 sampai pada titik nadir di Indonesia saat ini. Contohnya Bloomberg, media asal Amerika ini malah secara cerdas langsung mengkaitkan dgn polemik perubahan UU Pilkada akibat pembangkangan Baleg DPR-RI terhadap MK dan juga menyinggung soal warisan dinasti JkW.

Bloomberg dalam Laporan berjudul ‘ _Court ruling deals blow to Jokowi’s dynastic legacy in Indonesia_ ‘ kemarin juga menyebut tuduhan nepotisme terhadap JkW telah ada sejak 2023 lalu, usai MK, dalam keputusan yg dipimpin oleh paman Usman menurunkan batasan usia minimum bagi calon presiden dan wakil presiden. Sementara kantor berita asal Inggris Reuters juga mewartakan hal serupa dgn memuat respons JkW atas keputusan MK yg awalnya berpotensi menutup peluang bagi anak bungsunya, namun dgn adanya ulah oknum2 yg menyebut dirinya “wakil rakyat” tsb menjadi seperti diberi karpet merah kembali.

Suasana kemarin benar2 mengingatkan kita kembali pada kondisi Indonesia sebelum Reformasi 1998 lalu, dimana saat itu masyarakat bersatu padu kompak menggulingkan Rezim Orde Baru dibawah Soeharto yg sudah berkuasa selama 32 tahun. Patriotisme rakyat makin menguat dgn beredarnya kembali video-video bergenre “Analog Horror” (dibuat seolah2 masih jaman tempo doeloe dgn gaya Film reel atau Kaset Video lama resolusi rendah) dan menampilkan gambar2 Soeharto, Petrus (Penembak Misterius), Kolor Ijo, Penculikan Mahasiswa, Penghilangan Aktivis, dsb.

Jelasnya, Analog horor adalah subgenre horor yg memanfaatkan gaya serta ciri khas dari teknologi lama (era 90-an tsb). Dengan memadukan kualitas rekaman yg kasar & audio yg kurang clear dgn gaya narasi “ambigu” serta multitafsir, analog horor melahirkan tontonan yg tdk mudah dilupakan. Secara lebih detail dlm video “Peringatan Darurat” bergaya Analog Horor tsb dituliskan seolah2 ada informasi dari Pemerintah (RI-000), juga adanya kode2 unik seperti ANM-021 ‘Mesem’, Entitas-021 dsb. Namun kalau dicermati “jejak digital”-nya sebenarnya Video2 tsb dibuat oleh EAS Indonesia Concept & sudah diunggah pada 24/10/2022 dan ada juga yg bertime stamp 01/12/ 2022 alias sudah hampir 2 tahun lalu.

Sebenarnya kemunculan (dgn sengaja) ” Peringatan Darurat” bergambar Garuda Pancasila Putih berlatar belakang Biru kemarin dan beberapa diantaranya disertai dgn Video2 bergenre “Analog Horor” bertujuan utk mengingatkan kembali bangsa ini utk waspada & mawas diri karena kondisi negara kembali sedang berada dalam kondisi tidak baik-baik saja sebagaimana kondisi bangsa ini jaman Orde Baru bahkan Orde lama silam. Dengan demikian tdak ada yg perlu (dicari2) kesalahan ttg “siapa” yg membuat postingan tsb pertama kalinya atau apakah video2 lawas didalamnya asli / tidak, karena yg terpenting adalah esensi atau makna tersirat didalamnya.

Jadi makna tersirat “Analog Horor” inilah yg semoga bisa secara positif membangkitkan kembali semangat rakyat Indonesia yg akhir2 ini tampak luntur alias tidak tampak bersemangat lagi utk minimal speak up sampai melakukan aksi atau gerakan sosial di Indonesia. Lagi2 kalau dikaitkan dgn sejarah Radio Malabar yg menjadi corong Indonesia pertama menyuarakan Teks Proklamasi di tahun 1945 silam, maka trending topic sekarang membangkitkan lagu perjuangan bangsa ini. Dengan kondisi negara yg benar2 sedang tidak baik2 saja gara2 ulang sebagian oknum, keluarga atau kelompok saat ini, maka mirip2 dimasa lalu saar perdjoangan masih melawan penjajah.

Alhamdulillah, hari ini Mahasiswa, Dosen, Profesor & Guru besar mulai bangkit kembali. Mulai dari kampus UI & UNJ di Jakarta, ITB di Bandung, Masyarakat Jogja juga kembali menyuarakan “Jogja Memanggil” hingga HMI, FMI & Organisasi massa bahkan Partai yg masih berpihak kepada Rakyat akan melakukan unjuk Aspirasinya di kota masing2, Gedung DPR-MPR dan Gedung KPU, semua adalah wujud dari kecintaan dan kepedulian Masyarakat terhadap situasi dan kondisi bangsa ini. Sekalilagi jangan salahkan mereka2 yg menyuarakan kebenaran dan menolak segala akal muslihat (baca: kejahatan tersktuktur, masif & sistematis) yg terus menerus dilakukan saat ini.

Kesimpulannya, meski menggunakan Genre Analog Horor, apakah “Peringatan Darurat” di Alam Maya dan Aksi-aksi Hebat Rakyat di Dunia Nyata hari ini sampai selanjutnya tsb adalah menggambarkan “Horor” yg sebenarnya? Tentu saja tidak. Justru tindakan culas alias tidak terpuji, misalnya dgn mencoba membangkang & mengakali Putusan MK No. 60/2024 yg seharusnya bersifat “Final and Bundling” tsb dgn akrobat yg tidak bermutu itulah yg menebar Horor sekaligus Teror sebenarnya di masyarakat. Mereka (mungkin) bahagia diatas penderitaan Rakyat Indonesia pada umumnya, tetapi InshaaAllah diatas Langit masih ada langit, Gusti Allah SWT tidak Sare …

)* *Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen – Jakarta, 22 Agustus 2024*