SKI, Mataram – Dua dosen STMIK Mataram, Herliana Rosika (35) dan Yuliadi (36) menggugat kampus tempatnya mengajar di Pengadilan Negeri Mataram setelah diminta mengganti biaya pendidikan yang dikeluarkan pihak kampus, yang menyekolahkan keduanya.
Meski sejatinya meningkatkan kapasitas, kapabilitas tenaga kependidikan termasuk peningkatan jenjang pendidikan dosen apalagi yang berstatus dosen tetap di institusi pendidikan menjadi kewajiban lembaga.
Diduga masih ada sejumlah dosen, yang mengalami nasib yang sama, namun baru dua dosen yang melakukan upaya gugatan.
Keduanya, adalah dosen yang mengajar sudah hampir 11 tahun, dengan mata kuliah keahlian sistem informasi komputer.
“Sudah kewajiban mereka membiayai tenaga kependidikan apalagi status mereka itu dosen tetap, karena syarat dosen mengajar adalah harus min kulifikasi S2. Saya dan beberapa teman lainnya dikuliahkan, jadi bukan keinginan kami sepenuhnya tapi murni karena kepentingan kampus,” jelas salah satu penggugat Herliana Rosika.
Setelah dikuliahkan kedua dosen mengabdi, kemudian sudah mengabdi sesuai ketentuan yang dipersyaratkan kampus.
Namun ketika akan pindah mengajar, kedua dosen ini tercengang karena diminta ganti rugi seluruh biaya kuliah sebeaar 70 juta sampai 100 juta.
“Inikan aneh, kami sudah mengabdi sesuai perjanjian tapi ketika kami sudah tidak cocok dan memilih mengajar di kampus lain. Kok kami “diperas” dengan alasan ganti rugi,” tambah penggugat yang lain, Yuliadi.
Ganti rugi yang dihitung meliputi biaya kuliah, penyusunnya thesis dan biaya lain-lain. Padahal kuliah yang ditempuh kuliah jarak jauh dan sepenuhnya kemauan kampus karena dengan peningkatan kualifikasi dosen justru akan mempengaruhi kualitas kampus.
Kuasa hukum kedua penggugat, Abdul Hanan, SH menyatakan perbuatan melawan hukum yang lakukan institusi pendidikan STMIK Amikom Mataram adalah menahan ijazah para dosen, dan tidak memberikan surat keterangan lulus butuh, serta penggunaan nama kedua penggugat sebagai dosen aktif, padahal sudah tidak aktif dua tahun silam.
“Kita gugat 4,5 milyar atas perbuatan melawan hukum menahan ijazah, mengunakan nama kedua penggugat sebagai dosen aktif padahal sudah tidak mengajar disana, tidak memberikan lulus butuh, sebagai persyaratan dosen mengajar di tempat lain,” jelas Hans panggilan akrab pengacara energik ini.
Selain itu permintaan ganti rugi dinilai pengacara penggugat, sebagai mengada-ada dan inkonstitusional sesuai dengan peraturan menristek Dikti dan UU sistem pendidikan Nasional.
“Lembaga pendidikan itu bukan lembaga bisnis, apalagi pakai harus ganti rugi itu kan namanya pemerasan. Terlebih tergugat ini kan ketua APTISI NTB, seharusnya memberikan contoh yang baik, ini justru tidak mengindahkan edaran Menteri Riset Dikti, “imbuhnya.
Sementara, tergugat Ketua STMIK AMIKOM, Lalu Darmawan Bakti melalui kuasa hukumnya, Burhanudin SH menyatakan kedua dosen ini sudah tidak aktif mengajar karena pelanggaran peraturan mulai dari jarang masuk, terlambat yang merugikan mahasiswa dan lembaga pendidikan.
Adapun penahanan ijazah terakhir karena adanya perjanjian tertulis pihak kampus dengan kedua oknum dosen ini yang tidak dijalankan.
“ada perjanjiannya itu. Jadi ada ketentuan mereka harus mengganti rugi biaya kuliah, kalau berhenti mengajar,” jelasnya singkat.
Sayangnya kuasa hukum tidak memperlihatkan surat perjanjian yang dimaksud. Namun berdasarkan keterangan kedua dosen penggugat bahwa perjanjian memang ada tapi dibawah tangan dan sama sekali tidak mengatasnamakan lembaga.
Kedua penggugat, yang sudah menyatakan sertifikasi dosen keahlian sistem informasi komputer berharap majelis hakim memutus dengan seadil-adilnya sehingga hak-hak mereka dapat diperoleh kembali.
“Kami butuh surat lulus butuh dan ijazah kami dikembalikan pihak kampus,” harap kedua dosen ini.
Penulis : Amrin
Editor : Red SKI
Komentar