Rohadi Tuntut Agar Mafia Peradilan Dihapuskan

SKI, BANDUNG – Meskipun meringkuk di Lapas Sukamiskin Bandung, Rohadi, mantan Panitera PN Jakarta Utara yang tersangkut perkara suap Pedangdut Saipul Jamil terus menuntut keadilan. Sebab sejauh ini dia merasakan bahwa mafia peradilan di negeri ini masih berkeliaran dan tidak dapat dihapuskan.
Dalam pesan singkat kepada Media Swara Konsumen Indonesia (SKI) pagi ini, Rabu (24/04), dia mengungkapkan, proses peradilan dalam kasus yang melibatkan dirinya dia rasakan berlangsung tidak adil, Sebab ada hakim-hakim, panitera dan karyawan PN Jakarta Utara yang terlibat.

Tapi kenyataannya hanya dirinya sendiri yan diproses hukum.
“Sebenarnya hakim-hakim, panitera dan para karyawan PN Jakut banyak yang terlibat. Hanya waktu itu saya dilarang oleh Hakim Karel Tupu untuk melibatkan nama-nama hakim tersebut. Artinya, cukup sampai di saya saja. Yaitu Rohadi,” ungkapnya.

Padahal, menurut dia, ada saksi bisu yang bisa mengungkap kasus secara lebih terang benderang, jika pihak KPK mau mengusutnya. Sebab ada HP miliknya yang disita oleh penyidik KPK. Bila itu dibuka akan terungkap sejatinya perkara ini. Begitu juga daftar penumpang pesawat Lion Air dan tiket pesawat Garuda yang semestinya dapat mengungkap tabir suap yang melingkupi perkara ini.

Menurut dia, daftar penumpang pesawat Lion Air dan tiket pesawat Garuda itu dapat menunjukkan nama-nama yang ikut menikmati uang haram dari suap Saipul Jamil itu. Karena mereka adalah para hakim, panitera dan karyawan yang ikut melakukan perjalanan Jakarta-Solo dan Solo Jakarta, ketika menghadiri acara pernikahan salah seorang putera hakim di Solo. Tiket-tiket tersebut antara lain dibeli dengan menggunakan uang suap tersebut.

“Karena itu, demi kepastian hukum dan tegaknya keadilan, saya sudah menyurati Presiden Jokowi. Saya minta bapak Presiden turun tangan untuk memerintahkan pengungkapan kasus ini secara terang benderang, Kami berharap agar Indonesia ke depan hukum harus bersih dan berwibawa. Hakim-hakim harus bersih dari mafia hukum,” tandasnya.

Masalah ketidakadilan dan mafia hukum yang diungkapkan oleh Rohadi ini belakangan ini mendapatkan perhatian dari beberapa pihak tertentu. Seperti dilansir galamedianews.com, Selasa (23/04/19) lalu, puluhan orang melakukan aksi di depan kantor Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Jln. Cimuncang, Kota Bandung, Mereka menuding adanya hakim “nakal” dan bermain dalam kasus-kasus. Mereka meminta hakim tersebut diungkap dan diproses hukum.

Salah satu yang menjadi sorotan massa yaitu kasus suap dalam perkara pedangdut Saiful Jamil. Massa menduga, dalam kasus tersebut ada hakim yang menerima suap. Tapi kasus itu sendiri hanya menyeret mantan panitera.

Menurut Jointar Gultom, kordinator aksi dari LSM KPK Nusantara, kode etik hakim saat ini dipertanyakan. “Perilaku hakim harus diawasi, lembaga MA dan KY tidak melakukan fungsi pengawasan kode etik dan perilaku hakim secara sungguh sungguh,” jelasnya dalam aksi di depan kantor PT Jabar, Salah satu bukti hakim berperilaku tidak baik, kata Jiontar, masih ada beberapa hakim yang diduga bermasalah tapi masih memegang palu.

“Apa tidak malu hakim seperti itu masih juga dipromosikan. Harusnya malu. Kami memohon kepada bapak presiden agar benahi hukum di Indonesia,” tutur Jointar.

Menurut Jointar, dirinya berharap, kedepan jangan ada lagi hakim tercela masih diberi tugas menyidangkan, memeriksa dan mengadili perkara. “Kami malu sebagai rakyat indonesia, jika hakimnya berperilaku tidak baik,” katanya ketika bicara dengan awak media, menyusul aksi massa yang juga mengirimi PT Jabar karangan bunga, sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi hukum di Indonesia.

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Nasional Jarta, Dr. Tubagus Asgar, SH, MH, mengungkapkan kepada awak media bahwa kasus yang melibatkan Rohadi ini tidak memenuhi unsur keadilan. Sebab sudah disebutkan secara terang benderang para hakim dan panitera yang terlibat, tapi tidak mendapatkan sanksi hukum yang semestinya.
“Kasus Rohadi ini sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Dia sudah divonis. Yaitu tujuh tahun penjara dari 10 tahun tuntutan jaksa. Tapi sebelum vonis itu dijatuhkan, Rohadi menyampaikan, menceritakan, membeberkan di dalam persidangan di bawah sumpah itu, bahwa dia mencabut berita acara yang dipaksakan. Karenanya Rohadi meminta keadilan,” paparnya.

Kenapa minta keadilan? Karena Rohadi sudah menyampaikan kepada Hakim KPK apa yang sesungguhnya terjadi. Yaitu adanya para hakim dan panitera yang terlibat, tapi tidak ditelusuri. Tidak mendapatkan sambutan dari para penyidik KPK.

“Jadi, apa yang diminta oleh Rohadi tidak diberikan. Malah hakim-hakim, para panitera dan teman sejawatnya di PN Jakarta Utara itu bebas berkeliaran. Bahkan dalam kunjungan saat lebaran, dia ditekan lagi oleh salah satu hakim. Agar kasus ini sampai pada Rohadi saja. Tidak melibatkan hakim dan yang lainnya,” lanjutnya.

Menurut Dr. Tubagus Asgar, ini kan berarti adanya pressure. Padahal sebenarnya Rohadi tidak bekerja sendirian, Ini menyangkut tentang mafia peradilan, Sehingga presiden sebagai kepala negara wajib tahu bahwa struktur bangunan hukum di negara ini carut-marut.

Untuk KPK sendiri, ungkapnya, sebenarnya ini kan sudah ada putusan hukum. Rohadi sudah menjalani hukuman. Tapi bisa saja bila ada diskresi. KPK misalnya ingin menunjukkan giginya, menunjukkan pakemnya, menunjukkan lembaga yang ditunjuk oleh negara ini ada. Dengan begitu KPK bisa saja mengusut perkara ini kembali, dengan menyelidiki semua orang yang disebutkan Rohadi itu terlibat.
Dia menjelaskan bahwa azas hukum itu kan tiga. Ada azas manfaat, azas keadilan dan azas kepastian hukum.

Jadi, dalamperkara ini telah terjadi ketidakadilan, Rohadi merasa ada ketimpangan Dan Rohadi ini kan panitera, Dia tahu seluk-beluk pengadilan. Apakah ini sebuah kultur ? Apakah ini budaya pengadilan?
Rohadi sudah mencereitakan, dengan menyeret nama-nama hakim, nama-nama panitera. Tapi sejauh ini tidak ada hakim yang telah disebutkan namanya itu, termasuk para panitera yang terlibat yang dikenai sanksi hukum, ucapnya saat diwawancara awak media SKI. 

“Karena itu, ini tidak adil. Tidak memenuhi unsur keadilan,” tandasnya. (Yan)

Komentar