SKI – Jakarta – Momentum pesta demokrasi selalu menjadi ajang rekonstruksi tatanan birokrasi untuk satu periode selanjutnya. Tahun depan, rakyat Indonesia akan menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serempak untuk pertama kalinya. Kita semua berharap, hajatan demokrasi ini bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas.
Rakyat sebagai pelaku utama dan penentu siapa yang berhak menempati kursi kepemimpinan, mendapat tanggung jawab yang sangat besar dalam rangka pembangunan selanjutnya. Hal tersebut menuntutnya untuk berfikir lebih dewasa, cerdas, dan terbuka. Alhasil, tidak terjadi kekeliruan dalam memilih seorang pemimpin. Artinya, Pemilu bukan sekadar ajang politik transaksional yang justru mengoyak hakikat demokrasi itu sendiri.
Itu sebabnya perlu pendidikan politik yang berkalanjutan dalam rangka untuk menyiapkan rakyat yang cerdas dan pemimpin berkualitas serta berdedikasi tinggi kepada nusa dan bangsa.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni mengajak semua pihak, terutama partai-partai politik peserta Pemilu 2019 untuk menjalankan agenda pendidikan dan menumbuhkan budaya politik yang benar kepada rakyat. “Perlu adanya pendidikan politik dari partai-partai kepada masyarakat, supaya masyarakat peduli dengan pemilu untuk legislatif maupun eksekutif yang berkualitas,” katanya dalam bincang-bincang bersama Reporter di sebuah Kafe Cikini, di Jakarta, Jumat Sore, (30/11/18).
Menurut Farouk, masyarakat jangan dimanjakan dengan politik transaksional, tapi lebih baik dengan pendidikan politik terkait apa yang akan diperjuangkan oleh partai-partai peserta Pemilu. Jika hal itu dilakukan maka setidaknya akan menghentikan budaya politik transaksional dan hasil politik kita akan lebih berkualitas. “Jadi tidak hanya dinikmati oleh para elite politik,” papar alumnus New York University & the University of Birmingham ini.
Sekadar gambaran, merujuk survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait pemetaan politik, sosial, budaya, ekonomi dan keamanan menjelang Pemilu 2019, hanya 41% masyarakat yang tertarik mengikuti berita politik atau pemerintahan. Kemudian, hanya 18% masyarakat yang rutin berdiskusi mengenai politik atau pemerintahan secara umum. Dari hasil riset, pejabat pemerintah adalah yang paling banyak dirujuk oleh publik untuk memastikan kebenaran informasi yang beredar di masyarakat dengan porsi sekitar 30%. Sedangkan media massa arus utamanya hanya 14%.
Mengenai politik transaksional ini, Farouk bilang bukan sekadar isapan jempol tapi mengalaminya sendiri. Kala itu, ada seseorang yang mendekatinya dan menyatakan bersedia menjadi tim sukses dengan menjanjikan perolehan suara dari calon pemilih di daerah pemilihannya. Mereka meminta biaya sekitar Rp 4 miliar sebagai tiket untuk lolos ke Senanyan. “Tentu saya menolaknya, karena terkesan seperti jual beli suara, semacam politik transaksional antara caleg dengan operator dari para pemilih,” tukasnya.
Menurut dia, biaya yang harus dikeluarkan tersebut tidak sebanding dengan gaji anggota dewan. Maka dari itu, tidak terelakkan jika caleg yang terpilih melakukan politik transaksional tersebut. Pendek kata, ketika duduk sebagai wakil rakyat yang pertama terbesit di benaknya adalah bagaimana bisa mengembalikan modal ketika kampanye. Boleh jadi mungkin lebih dari sekedar balik modal, tetapi meraup keuntungan pribadi semaksimum mungkin. “Inilah politik transaksional yang berujung kepada buruknya produk demokrasi kita,” sebut Farouk.
Ekonom dari Center for Islamic Studies in Finance, Economics and Development (CISFED) ini menilai, demokrasi Indonesia pasca-reformasi belum melahirkan demokrasi yang substantif, yakni demokrasi yang berdampak terhadap terciptanya layanan publik dengan baik. Di negara maju, kelancaran proses demokrasi bisa terlihat dari efeknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Demokrasi perlu dibedakan dengan pemilu. Demokrasi yang substantif bukan aksesoris, harus diterjemahkan pada pelayanan publik yang baik, berfungsinya sistim penegakan hukum dan keadilan. Ini yang perlu dikritisi dalam perjalanan demokrasi kita saat ini. Demokrasi, akhirnya, harus berujung pada perbaikan layanan publik, terciptanya demokrasi ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Caleg DPR RI dari PKS untuk Dapil DKI II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri) ini.
Farouk yang juga sedang menjalani studi doktoralnya (PhD) terkait pembangunan Indonesia di Univesiti Sains Malaysia, Penang mengungkapkan, sejak Orde Baru dan setelah krisis keuangan 1998, Indonesia selalu mencatatkan pertumbuhan ekonomi meski belum begitu signifikan ketimbang China. Tetapi persoalan seriusnya adalah pertumbuhan ekonomi ini hanya dinikmati sejumlah kecil masyarakat. “Pertumbuhan ekonomi belum bisa dinikmati secara merata,” katanya sambil menyeruput nikmatnya Capucino.
Berdasarkan kajian Bank Dunia 2016, selama satu dekade sampai dengan tahun 2015, yang menikmati pertumbuhan ekonomi hanya 20% dari populasi penduduk Indonesia. Kajian lainnya, Credit Suisse 2016, menyatakan Indonesia adalah negara terburuk keempat dalam hal ketimpangan ekonomi.
Selain itu, lembaga internasional OXFAM juga dalam laporannya pada tahun 2016, menyebutkan total harta empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar US$25 miliar setara dengan gabungan kekayaan sekitar 100 juta orang atau 40% dari total penghasilan masyarakat terbawah.
Menurut laporan yang sama, pada 2016, satu persen orang terkaya menguasai 49% atau hampir setengahnya dari total kekayaan di tanah air. Tak ayal, perjalanan demokrasi Indonesia masih panjang dan 20 tahun reformasi tidak bisa membuat kita berpuas diri. Yang terang, perlu perubahan yang lebih signifikan dan harus dilakukan berkesinambungan agar pertumbuhan ekonomi berdampak bagi seluruh masyarakat.
“Tidak hanya sekelompok kecil masyarakat. Ini semua patut direnungkan agar kita mempunyai negara yang bermanfaat untuk semua,” harap Dosen di Perbanas Institute & MM FE Universitas Indonesia ini.
Penulis : Fri
Editor : Red SKI
Komentar